Allah Setia


Illustrasi

Bacaan: Yehezkiel 43:13-27

Allah Setia

Mezbah adalah titik awal dari kehidupan Israel di hadapan Allah. Di sinilah Allah dan umat- Nya berjumpa. Mezbah adalah tempat yang paling sakral bagi kehidupan umat Allah dalam PL. Tetapi, justru di tempat paling sakral ini Israel berbuat dosa yang terendah (lih. 8:16). Dosa penyembahan berhala yang merusak relasi di tempat di mana justru relasi itu dibangun. Tidak heran penyembahan berhala sering digambarkan seperti perzinahan, yaitu ketidaksetiaan dari hubungan pernikahan yang sakral. Perzinahan terjadi ketika salah seorang pasangan memilih tidak setia dan mengkhianati pasangan yang padanya ia sudah berjanji setia.

Seharusnya tindakan ketidaksetiaan Israel ini dapat membuat Allah memutuskan ikatan perjanjian- Nya. Akan tetapi, Allah memilih tetap setia di tengah ketidaksetiaan umat-Nya. Mezbah yang telah dinodai dengan ketidaksetiaan dipulihkan oleh Allah (18-27). Mezbah dikembalikan menjadi fokus utama persekutuan Allah dan Israel. Allah telah memberikan kurban persembahan untuk menunjukkan bahwa Ia siap terluka dan berkorban demi mengampuni dan berdamai dengan umat-Nya. 

Untuk umat yang masih dihukum di pembuangan, Yehezkiel beroleh visi penting. Bait Allah dan mezbah baru dirancang Allah untuk umat yang sedang dihukum ini. Dalam seluruh Alkitab kita jumpai kebenaran indah bahwa disiplin Allah atas orang yang berdosa sebenarnya adalah kasih yang kudus yang ingin mengampuni, mendamaikan, dan menguduskan kita kembali. Mezbah ini sangat besar, jauh melampaui Mezbah zaman Musa berupa 4 anak tangga mengerucut setinggi sekitar 4 m, bagian dasar 6,5 x 6,5 m, bagian atas 5,5 x 5,5 m. Tempat untuk memberikan kurban persembahan itu mencerminkan keluasan hati Allah yang rindu mengampuni dan menerima kembali orang berdosa.

Perlu tujuh hari penyucian Mezbah sebelum ia dapat dipakai untuk pemberian kurban persembahan. Tujuh menandakan kesempurnaan baru. Selama tujuh hari berturut-turut upacara ini dilakukan dengan mengurbankan seekor lembu jantan muda, seekor kambing jantan yang tidak bercela, dan seekor domba jantan yang tidak bercela, sebagai kurban penghapus dosa. Setelah itu barulah Mezbah dianggap siap untuk pengurbanan. Mulai hari kedelapan, para imam dapat menjalankan tugasnya mempersembahkan kurban bakaran dan kurban keselamatan dari umat. 

Tujuh hari penyucian ini mengingatkan hari raya Sukkot, festival utama bangsa Yahudi yang mengingatkan pengembaraan mereka di padang pasir ketika keluar dari perbudakan Mesir. Ini kisah nostalgia akan kasih Allah yang menyelamatkan dan menjaga umat-Nya. Selanjutnya, percikan darah pada Mezbah mengingatkan akan hari raya Yom Kippur ketika imam memanjatkan penebusan untuk umat Israel (lih. Im. 16:18-19). Garam yang ditaburkan pada korban juga menggambarkan perjanjian garam (lih. Im. 2:13). Sifat mengawetkan garam menjadi simbol ketetapan dari perjanjian Allah. Hal itu merupakan afirmasi kasih setia Allah yang tidak dapat digagalkan oleh ketidaksetiaan umat-Nya.

Persembahan kurban berfungsi sebagai penyucian dosa, yaitu memperdamaikan orang berdosa dengan Allah yang suci, sebelum ia dapat menghampiri Allah dan berkenan kepada-Nya. Fungsi kedua adalah untuk menyatakan syukur atas anugerah pengampunan dan atas segala berkat yang diterima orang tersebut. Fungsi ketiga, persembahan kurban adalah suatu persekutuan umat dengan Allah, persekutuan yang dimungkinkan karena adanya pengampunan dan respons ucapan syukur. Di masa kini, kita patut bersyukur karena Kristus sudah menggenapkan ritual Taurat ini melalui pengurbanan-Nya di kayu salib. Dia sudah menjadi kurban penghapus dosa dan kurban pendamaian. Melalui Dia juga kita menaikkan syukur, dan dipersekutukan dengan Allah Bapa. 

Tuhan telah kehilangan kepercayaan pada manusia akibat dosa. Manusia untuk mendapatkan kembali kepercayaan tersebut maka harus/perlu menjadi pengorbanan yang harus kita lakukan. Sperti pengorbanan korban sembilihan. Tapi yang lebih penting dari sebenarnya adalah pengorbanan kita untuk meninggal hidup yang lama menjadi baru yakni memilih setia bersama Tuhan dalam kelurga sampai akhir hidup.

Kasih setia Allah yang besar seharusnya membuat kita memiliki pengharapan. Ketidaksetiaan kita tidak akan pernah bisa menggagalkan kesetiaan Allah. Hal itu tidak membenarkan setiap kegagalan kita, tetapi justru memberi kita semangat kembali belajar setia dengan tetap melihat kasih dan kesetiaan Allah. Amin.


- BPP Hari Raya Gerejawi JTM

Ibadah Cell Group Renungan

Berita Terpopuler

Kolom Komentar


Berikan Komentar

Alamat Email anda tidak akan ditampilkan. Wajib diisi untuk kolom *